POST-MORTEM
Kaki
tak pasti ke mana dia akan pergi
di simpang jalan itu
sampai kecelakaan menimpa dirinya
pokoknya
dia ingin menuju sesuatu arah
perut:
pernah mengalami kebuluran
tapi, makannya mulai teratur
lepas merdeka
Cuma tak pasti, makanan selepas ‘57
entah dari kebunnya, entah dari mana
jantung:
bentuknya menterjemahkan bahawa
degupnya dulu bukan degup bahagia
kerana dia telah kehilangan bakat
untuk berjenaka
tangan:
pernah menjamah kitab suci
juga pernah menggenggam tinggi: mari menggugat!
bibir:
dia pernah mendoakan
agar hutang negara segera selesai
pagar-pagar rumah roboh
dirobohkan para politikus
berbilion wang bank tidak mengalir keluar
tapi menjelmakan biji-biji benih
anak-anak ikan
jadi daun sisip
menampung bocor bumbung
rumah petani dan nelayan
lidah:
ada bekas bahawa dia pernah menjerit
tapi dia menyepi pula dengan lama
entah mengapa
hidung:
semasa hidupnya
pastilah dia sering tercium
aroma masakan yang lazat
tetapi perutnya
tidak membenarkan pendapat ini
mata:
inilah inderanya yang indah
tetapi dia sering melihat imej
bukan realiti
telinga:
indera yang menggemari muzik pop
dan melupakan deru angin
yang menyenandungkan duka
orang-orang kecil
otak:
seakan sama dengan kakinya
yang selalu berada di simpang
kemudian terpandang simpang yang lain
dan simpang siur
sejuta simpang lagi
sesat dalam otaknya sendiri
dengan penunjuk jalannya seorang politikus
yang mengaku “akulah ahli ekonomi akulah
ahli sains sosial akulah pakar kecantikan
akulah budayawan akulah ahli bahasa
akulah ulama akulah jeneral
kalau berperang.”
Puisi ini menggambarkan bagian-bagian tubuh manusia sebagai metafora untuk pengalaman dan perasaan yang dialami dalam kehidupan. Setiap bagian tubuh memiliki cerita dan makna yang unik.
Kaki, dalam puisi ini, menggambarkan perjalanan hidup yang tak pasti. Meskipun tak tahu arah pasti, kaki ini tetap ingin menuju sesuatu yang diharapkan.
Perut menggambarkan pengalaman kelaparan dan kehidupan setelah merdeka, tetapi tak pasti asal makanan setelah tahun 1957.
Jantung mengungkapkan kehilangan bakat untuk berjenaka, menandakan perubahan dalam perasaan dan emosi.
Tangan yang pernah menyentuh kitab suci dan melakukan tindakan kuat, seperti menggugat, menggambarkan kekuatan dan keberanian.
Bibir berdoa agar hutang negara terselesaikan, dan mengekspresikan keprihatinan terhadap keadaan politik dan keadilan sosial.
Lidah yang pernah menjerit kini menyepi, menunjukkan perubahan dalam ekspresi dan komunikasi.
Hidung menggambarkan pengalaman mencium aroma makanan yang enak, tetapi perutnya tak sepakat dengan pandangan tersebut.
Mata sebagai indera indah, tapi sering melihat gambaran bukan realitas, menggambarkan persepsi yang mungkin terdistorsi.
Telinga, yang gemar musik pop, mengabaikan suara angin yang menyampaikan duka orang-orang kecil.
Otak yang terjebak dalam simpang jalan, menggambarkan kebingungan dan kesulitan dalam menemukan jalan yang tepat dalam kehidupan. Penunjuk jalan dari seorang politikus mencerminkan manipulasi dan ambiguitas yang ada.
Puisi ini menggunakan metafora bagian tubuh manusia untuk menyampaikan pesan tentang pengalaman hidup, perubahan emosi, dan kompleksitas dalam mencari makna dan arah dalam kehidupan.
评论
发表评论