POST-MORTEM ANWAR RIDHWAN

POST-MORTEM

Kaki

tak pasti ke mana dia akan pergi

di simpang jalan itu

sampai kecelakaan menimpa dirinya

pokoknya

dia ingin menuju sesuatu arah


perut:

pernah mengalami kebuluran

tapi, makannya mulai teratur

lepas merdeka

Cuma tak pasti, makanan selepas ‘57

entah dari kebunnya, entah dari mana


jantung:

bentuknya menterjemahkan bahawa

degupnya dulu bukan degup bahagia

kerana dia telah kehilangan bakat

untuk berjenaka


tangan:

pernah menjamah kitab suci

juga pernah menggenggam tinggi: mari menggugat!


bibir:

dia pernah mendoakan

agar hutang negara segera selesai

pagar-pagar rumah roboh

dirobohkan para politikus

berbilion wang bank tidak mengalir keluar

tapi menjelmakan biji-biji benih

                anak-anak ikan

                jadi daun sisip

menampung bocor bumbung

rumah petani dan nelayan


lidah:

ada  bekas bahawa dia pernah menjerit

tapi dia menyepi pula dengan lama

entah mengapa


hidung:

semasa hidupnya

pastilah dia sering tercium

aroma masakan yang lazat

tetapi perutnya

tidak membenarkan pendapat ini


mata:

inilah inderanya yang indah

tetapi dia sering melihat imej

bukan realiti


telinga:

indera yang menggemari muzik pop

dan melupakan deru angin

yang menyenandungkan duka

orang-orang kecil


otak:

seakan sama dengan kakinya

yang selalu berada di simpang

kemudian terpandang simpang yang lain

dan simpang siur

sejuta simpang lagi

sesat dalam otaknya sendiri

dengan penunjuk jalannya seorang politikus

yang mengaku “akulah ahli ekonomi akulah

ahli sains sosial akulah pakar kecantikan

akulah budayawan akulah ahli bahasa

akulah ulama akulah jeneral

kalau berperang.”


    Puisi ini menggambarkan bagian-bagian tubuh manusia sebagai metafora untuk pengalaman dan perasaan yang dialami dalam kehidupan. Setiap bagian tubuh memiliki cerita dan makna yang unik.

    Kaki, dalam puisi ini, menggambarkan perjalanan hidup yang tak pasti. Meskipun tak tahu arah pasti, kaki ini tetap ingin menuju sesuatu yang diharapkan.

    Perut menggambarkan pengalaman kelaparan dan kehidupan setelah merdeka, tetapi tak pasti asal makanan setelah tahun 1957.

    Jantung mengungkapkan kehilangan bakat untuk berjenaka, menandakan perubahan dalam perasaan dan emosi.

    Tangan yang pernah menyentuh kitab suci dan melakukan tindakan kuat, seperti menggugat, menggambarkan kekuatan dan keberanian.

    Bibir berdoa agar hutang negara terselesaikan, dan mengekspresikan keprihatinan terhadap keadaan politik dan keadilan sosial.

    Lidah yang pernah menjerit kini menyepi, menunjukkan perubahan dalam ekspresi dan komunikasi.

    Hidung menggambarkan pengalaman mencium aroma makanan yang enak, tetapi perutnya tak sepakat dengan pandangan tersebut.

    Mata sebagai indera indah, tapi sering melihat gambaran bukan realitas, menggambarkan persepsi yang mungkin terdistorsi.

    Telinga, yang gemar musik pop, mengabaikan suara angin yang menyampaikan duka orang-orang kecil.

    Otak yang terjebak dalam simpang jalan, menggambarkan kebingungan dan kesulitan dalam menemukan jalan yang tepat dalam kehidupan. Penunjuk jalan dari seorang politikus mencerminkan manipulasi dan ambiguitas yang ada.

    Puisi ini menggunakan metafora bagian tubuh manusia untuk menyampaikan pesan tentang pengalaman hidup, perubahan emosi, dan kompleksitas dalam mencari makna dan arah dalam kehidupan.

评论